ZAKAT DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Oleh: Ali Ridlo
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk
mendeskriptifkan zakat dalam perpektif ekonomi Islam dengan menggunakan metode
kualitatif, dengan melalui studi pustaka. Bahwa zakat dalam perpektif ekonomi
Islam mempunyai potensi yang signifikan, Maka zakat perlu mendapatkan perhatian
yang lebih dari pemerintah sebagaimana urgensi zakat dalam kesejahteraan
masyarakat. Akhirnya zakat dapat menjadi solusi alternatif untuk kesejahteraan
masyarakat dan menjadi sumber devisa Negara. Sehingga zakat bukan hanya
memiliki nilai keagamaan saja, akan tetapi zakat juga memiliki nilai ekonomi
yang signifikan.
Kata kunci: zakat, ekonomi, ekonomi Islam
Abstract
This paper aimed to describe the zaka
perspective Islamic economic with using qualitative methods and through the
literature study. That, the zaka perspective Islamic economic have potencial
significant, so that zaka have to get more care from the government where
urgency of zaka for welfare people. Finally, zaka could be alternative solution
for welfare people and devisa a country. So zaka is not only has religious
values, but also zaka has significan economic values.
Key words: zaka, economic, Islamic
economic.
A. PENDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Sehingga zakat secara
normatif merupakan suatu kewajiban mutlak yang dimiliki oleh setiap orang muslim.
Oleh sebab itu, zakat menjadi salah satu landasan keimanan seorang muslim, dan
zakat juga dapat dijadikan sebagai indikator kualitas keislaman yang merupakan
bentuk komitmen solidaritas seorang muslim dengan sesama muslim yang lain.
Zakat juga merupakan suatu ibadah yang memiliki nilai sosial yang
tinggi. Selain itu, zakat juga memberi dampak positif terhadap kesejahteraan
masyarakat. Bahwa dengan berzakat golongan kaya (muzakki) dapat
mendistribusikan sebagian hartanya kepada golongan fakir miskin (mustahiq),
maka terjadilah hubungan yang harmonis antara golongan kaya dan fakir miskin. Sehingga
golongan fakir miskin dapat menjalan kegiatan ekonomi di kehidupannya.
Zakat juga memiliki peran yang begitu luas. Salah satu peran yang
dimiliki oleh zakat adalah peran terhadap pengurangan angka kemiskinan
masyarakat.[1]
Dan zakat dikumpulkan kepada amil zakat yang selanjutnya dikelola dengan baik
dan zakat akhirnya didistribusikan kepada mustahiq. Dengan demikian, mustahiq
diharapkan akan berubah statusnya menjadi muzakki. Sehingga angka
kemiskinan di masyarakat dapat berkurang dengan adanya perubahan status mustahiq
menjadi muzaki.
Peran zakat secara makro jika kita melihat sejarah pemerintahan khalifah
Umar Ibn Khattab, bahwa zakat merupakan sumber pemasukan Negara Islam selain
Pajak dan lain sebagainya.[2]
Sehingga zakat mempunyai peran yang sangat central dalam ekonomi Islam. bukan
hanya individu saja yang dapat merasakan dampak positif zakat, melainkan sebuah
Negara juga dapat merasakan dampak dari zakat untuk perekonomian Negara, yakni
sebagai sumber lain pemasukan Negara.
Dalam makalah ini akan membahas zakat perspektif ekonomi Islam dan
bagian selanjutnya penutup.
B. ZAK-AT DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
1. Konsep Zakat
Penulis akan menjelaskan secara singkat konsep
zakat dalam makalah ini. Pertama-tama penulis membahas pengertian zakat antara
lain secara etimologi, terminologi, zakat dalam al-Qur’an, dan selanjutnya
hikmah zakat.
a. Pengertian Zakat
Zakat secara etimologi dalam kitab Mu’jam Wasit seperti
yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardawi, adalah kata dasar yang berarti berkah,
tumbuh, bersih, dan baik.[3]
Bahwa sesuatu itu dikatakan zaka, yang berarti tumbuh dan berkembang, dan
seorang itu dapat dikatakan zaka, yang berarti bahwa orang tersebut baik.
Mengutip pendapat Sulaiman Rasjid bahwa zakat secara terminologi adalah kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada yang
berhak menerimanya, dengan beberapa syarat.[4]
Setiap muslim diwajibkan mengeluarkan zakat apabila telah cukup memenuhi syarat
wajib zakat yang kemudian
diserahkan kepada mustahiq.[5]
b. Zakat dalam al-Qur’an
Zakat dalam al-Qur’an memiliki banyak arti.
Mengutip pendapat Hasbi Ash Shiddieqy,
antara lain adalah:[6]
Pertama, Zakat yang berarti Zakat.
Allah swt. berfirman:
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4qx.¨9$#
(#qãèx.ö$#ur
yìtB
tûüÏèÏ.º§9$#
ÇÍÌÈ
Kedua, Zakat yang berarti Shadaqah. Mawardi mengatakan, “sedekah itu adalah
zakat dan zakat itu adalah sedekah; berbeda nama tetapi arti sama.”[8]
Allah swt. berfirman:
óOs9r&
(#þqãKn=÷èt
¨br&
©!$#
uqèd
ã@t7ø)t
spt/öqG9$#
ô`tã
¾ÍnÏ$t7Ïã
äè{ù'tur
ÏM»s%y¢Á9$#
cr&ur
©!$#
uqèd
Ü>#§qG9$#
ÞOÏm§9$#
ÇÊÉÍÈ
Tidaklah
mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan
menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang? [9]
õè{
ô`ÏB
öNÏlÎ;ºuqøBr&
Zps%y|¹
öNèdãÎdgsÜè?
NÍkÏj.tè?ur
$pkÍ5
Èe@|¹ur
öNÎgøn=tæ
(
¨bÎ)
y7s?4qn=|¹
Ö`s3y
öNçl°;
3
ª!$#ur
ììÏJy
íOÎ=tæ
ÇÊÉÌÈ
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.[10]
Nåk÷]ÏBur `¨B x8âÏJù=t Îû ÏM»s%y¢Á9$# ÷bÎ*sù (#qäÜôãé& $pk÷]ÏB (#qàÊu bÎ)ur öN©9 (#öqsÜ÷èã !$pk÷]ÏB #sÎ) öNèd cqäÜyó¡t ÇÎÑÈ
Dan di antara
mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi
sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi
sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.[11]
*
$yJ¯RÎ)
àM»s%y¢Á9$#
Ïä!#ts)àÿù=Ï9
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur
$pkön=tæ
Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur
öNåkæ5qè=è%
Îûur
É>$s%Ìh9$#
tûüÏBÌ»tóø9$#ur
Îûur
È@Î6y
«!$#
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
(
ZpÒÌsù
ÆÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ6ym
ÇÏÉÈ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[12]
Ketiga, zakat yang berarti Haq.
Allah swt. berfirman:
*
uqèdur
üÏ%©!$#
r't±Sr&
;MȬYy_
;M»x©rá÷è¨B
uöxîur
;M»x©râ÷êtB
@֬Z9$#ur
tíö¨9$#ur
$¸ÿÎ=tFøèC
¼ã&é#à2é&
cqçG÷¨9$#ur
c$¨B9$#ur
$\kÈ:»t±tFãB
uöxîur
7mÎ7»t±tFãB
4
(#qè=à2
`ÏB
ÿ¾ÍnÌyJrO
!#sÎ)
tyJøOr&
(#qè?#uäur
¼çm¤)ym
uQöqt
¾ÍnÏ$|Áym
(
wur
(#þqèùÎô£è@
4
¼çm¯RÎ)
w
=Ïtä
úüÏùÎô£ßJø9$#
ÇÊÍÊÈ
Dan dialah yang
menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.[13]
Keempat, Zakat yang berarti Nafaqah.
Allah swt. berfirman:
tPöqt
4yJøtä
$ygøn=tæ
Îû
Í$tR
zO¨Zygy_
2uqõ3çGsù
$pkÍ5
öNßgèd$t6Å_
öNåkæ5qãZã_ur
öNèdâqßgàßur
(
#x»yd
$tB
öNè?÷t\2
ö/ä3Å¡àÿRL{
(#qè%räsù
$tB
÷LäêZä.
crâÏYõ3s?
ÇÌÎÈ
Pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu”[14]
Kelima, Zakat menurut bahasa Qur’an juga disebut ‘afuw.
Allah swt. berfirman:
Éè{
uqøÿyèø9$#
óßDù&ur
Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur
Ç`tã
úüÎ=Îg»pgø:$#
ÇÊÒÒÈ
Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.[15]
Menurut T.
M. Hasbi ash-Shidieqy, bahwa kalimat zakat dipakai buat beberapa arti tersebut
di atas. Namun, yang berkembang dalam masyarakat, bahwa perkataan zakat dipakai
untuk shadaqah wajib dan perkataan shadaqah dipakai untuk shadaqah sunnah.[16]
Kata zakat
dalam bentuk ma’rifah (definisi) disebut tiga puluh kali di dalam Qur’an,
diantaranya dua puluh tujuh kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan
hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak
di dalam satu ayat, yaitu firman Allah swt:
tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ
Bahwa ayat
diatas turun setelah firman Allah swt. :
tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ
Bila
diperiksa ketiga puluh kali zakat disebutkan itu, delapan terdapat di dalam
surat-surat yang turun di Makkah dan selebihnya di dalam surat-surat yang turun
di Madinah.[19]
Sebagian
ahli mengatakan bahwa kata zakat yang selalu dihubungkan dengan shalat terdapat
delapan puluh dua tempat di dalam Qur’an. Jumlah ini terlalu dibesar-besarkan,
sehingga tidak sesuai dengan perhitungan yang disebut diatas. Tetapi jika yang
dimaksud mereka adalah juga kata-kata lain yang sama maksudnya dengan zakat
seperti al-infaq, al-maun, dan tha’am, al-miskin, dan lain-lain, maka
belum diketahui jumlahnya secara pasti namun akan berkisar antara tiga puluh
dua sampai delapan puluh dua tempat. Mengenai shadaqah, didalam Qur’an
disebutkan 12 kali, semuanya dalam ayat-ayat yang turun di Madinah.[20]
c. Hikmah zakat
Dari berbagai hikmah
zakat menurut para ulama’, maka dapat dibagi menjadi tiga macam atau aspek,
yaitu diniyyah, khuluqiyyah, dan ijtimaiyyah. Yaitu: [21]
1) Faidah diniyyah
(segi agama)
a. Berzakat menghantarkan
seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat
b. Sarana bagi hamba
untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, akan menambah keimanan
karena keberadaanya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c. Pembayar zakat akan
mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana dalam firman Allah
swt:
ß,ysôJt
ª!$#
(#4qt/Ìh9$#
Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur
w
=Åsã
¨@ä.
A$¤ÿx. ?LìÏOr&
ÇËÐÏÈ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.[22]
d. Zakat merupakan sarana
penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah saw.
2) Faidah Khuluqiyyah
(segi Akhlak)
Di antara hikmah zakat
apabila ditinjau dari aspek khuluqiyyah adalah:
a. Menanamkan sifat
kemuliaan, rasa toleran, dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat
b. Pembayar zakat
biasanya identic dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada
saudaranya yang tidak punya.
c. Merupakan realita
bahwa menyumbang sesuatu raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan
meluaskan jiwa, sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan
dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d. Di dalam zakat
terdapat penyucian terhadap akhlak.
3) Faidah Ijtimaiyyah (segi
Sosial Kemasyarakatan)
Adapun hikmah zakat
apabila ditinjau dari aspek ijtimaiyyah ini adalah:
a. Zakat merupakan sarana
untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan
kelompok mayoritas sebagian besar Negara di dunia
b. Memberikan support
kekuatan bagi kaum muslmin dan mengangkat eksistensi mereka. Hal ini bisa
dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi
sabilillah.
c. Zakat bisa mengurangi
kecemburuan social, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin
karena masyarakat bawah akan mudah tersulut rassa benci dan permusuhan jika
mereka melihat kelompok masyarakat ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta
yang demikian melimpah itu untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin
keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d. Zakat akan memacu
pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e. Membayar zakat berarti
memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan
maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Dalam makalah ini, setelah mengetahui
pengertian zakat, penulis akan menjelaskan konsep ekonomi Islam secara umum.
Penjelasan mengenai ekonomi Islam antara lain sebagai berikut:
2. Konsep Ekonomi Islam
a. Pengertian Ekonomi Islam
Definisi ekonomi Islam bervariasi, akan
tetapi pada dasarnya memiliki makna yang sama. Yang pada intinya ekonomi Islam
adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang,
menganalisa, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi
dengan cara-cara Islami (cara-cara yang didasarkan pada agama Islam, yaitu
sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis).[23]
b. Sejarah Ekonomi Islam
Menurut Adiwarman A. Karim, bahwa teori
ekonomi Islam adalah sebenarnya bukan ilmu baru atau sesuatu yang diturunkan
secara mendasar dari teori ekonomi yang ada sekarang. Sejarah membuktikan para
pemikir Islam merupakan penemu atau peletak dasar semua bidang ilmu. Para
ekonom Muslim sendiri mengakui, bahwa mereka banyak membaca dan dipengaruhi
oleh tulisan-tulisan Aristoteles (367-322 SM) sebagai filsuf yang banyak
menulis ekonomi. Akan tetapi, mereka tetap menjadikan Qur’an dan Hadis sebagai
rujukan utama dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Berbeda dengan para
ekonom Barat, bahwa beberapa pemikiran ekonom Islam dicuri tanpa pernah
disebutkan sumber kutipannya oleh ekonom Barat, antara lain: [24]
a) Teori Pareto Optimum diambil dari kitan Najhul Balaghah Imam Ali
b) Bar Herbraeus, pendeta Syriac Jacobite Church menyalin beberaa kitab Ulumuddin
al-Ghazali
c) Gresham law dan ores,e Treatise diambil dari kitab Ibnu Taimiyah
d) Pendeta Gereja Spanyol Ordo Dominican Raymond Martini menyalin banyak
bab dari Tahafut al-Fasifa, Maqasid al-Falasifa, al-Munqid, Mishkat
al-Anwar, dan Ihya-nya al-Ghazali
e) St. Thomas menyalin banyak bab dari al-farabi (St. Thomas yang belajar
dari Ordo Dominican mempelajari ide-ide al-Ghazali dari Bar Herbraeus dan
Martini)
f) Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth of
Nation diduga banyak mendapat inspirasi dari buku al-Amwal-nya Abu
Ubaid(838) yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis dengan judulnya Adam
Smith, The Wealth.
Adiwarman A. Karim mengatakan bahwa ekonom
Islam perlu mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik Islam. Selanjutya fuqaha
Islam perlu juga mempelajari akan teori-teori ekonomi Modern agar dapat
menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islam.[25]
c. Karakteristik Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memiliki karakteristik.
Karakteristik tersebut antara lain:[26]
a) Ekonomi Islam memiliki tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqasid
asy-syari’ah), yaitu mencapai dunia dan akhirat (falah) melalui
suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (Hayyah Thayyibah).
b) Moral sebagai sebagai pilar ekonomi Islam. untuk menyederhanakan, moral
ekonomi Islam dapat diuraikan menjadi dua komponen meskipun dalam praktiknya
kedua hal ini saling beririsan, yaitu:
1) Nilai ekonomi Islam.
Nilai (value) merupakan kualitas atau kandungan
intristik yang diharapkan dari suatu perilaku atau keadaan.
2) Prinsip ekonomi Islam.
Prinsip merupakan suatu mekanisme atau elemen pokok
yang menjadi struktur atau kelengkapan suatu kegiatan atau keadaan.
c) Ekonomi Islam memiliki nilai-nilai dasar.
Nilai-nilai dalam Qur’an dan Hadis terkait
dengan ekonomi sangatlah banyak. Dari berbagai pandangan ekonomi Muslim dapat
disimpulkan bahwa inti dari nilai ajaran Islam adalah Tauhid, yaitu bahwa
segala sesuatu kegiatan manusia, termasuk ekonomi, hanya dalam rangka untuk
ditujukan pada hukum Allah. Nilai tauhid tersebut diterjemahkan dalam
banyak nilai dan terdapat tiga nilai dasar yang menjadi pembeda antara ekonomi
Islam dengan lainnya, yaitu:
1) ‘Adl (keadilan)
Keadilan merupakan nilai yang paling asasi dalam
ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adala tujuan utama
dari risalah para Rasul-Nya (QS. 5: 8)
2) Khilafah
Nilai khilafah secara umum berarti tanggung
jawab sebagai pengganti atau utusan Allah di alam semesta. Manusia diciptakan
di bumi sebagai khalifah yaitu menjadi wakil Allah di muka bumi untuk
memakmurkan bumi dan alam semesta. Khilafah
dapat diartikan sebagai tanggung jawab berprilaku ekonomi dengan cara yang
benar, untuk mewujudkan mashlahah maksimum, untuk perbaikan
kesejahteraan setiap individu.
3) Takaful
Konsep takaful antara lain jaminan terhadap
pemilikan dan pengelolaan sumber daya oleh individu, untuk menikmati hasil
pembangunan atau output, untuk membangun keluarga sakinah, untuk amar
ma’ruf nahi munkar.
d) Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam
Prinsip-prinsip yang menjadi kaidah pokok
yang membagun struktur atau kerangkan ekonomi Islam yaitu kerja (resource
utilization), kompensasi (conpensation), efisiensi (efficiency),
profesionalisme (professionalism), kecukupan (sufficiency),
pemerataan kesempatan (equal opportunity), kebebasan (freedom),
kerja sama (cooperation), persaingan (competition), keseimbangan
(equilibrium), solidaritas (solidarity), informasi simetri (symmetric
information).
e) Basis Kebijakan Ekonomi Islam.
Basis kebijakan yang dimaksud adalah segala
sesuatu yang akan menjadi persyaratan bagi implementasi ekonomi Islam, sebagai
suatu keharusan. Sebagai sebuah basis, maka eksistensi hal-hal dibawah ini
mutlak harus diusahakan, sebab jika tidak maka akan mengganggu optimalisasi dan
efektivitas implementasi ekonomi Islam. basis tersebut antara lain sebagai
berikut:
1) Penghapusan Riba
Segala bentuk riba telah dilarang oleh Islam,
oleh sebab itu riba dihapuskan dalam ekonomi Islam. Esensi pelarangan riba
adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan dalam ekonomi.
Penghapusan riba secara sempit diartikan
bahwa penghapusan riba yang terjadi dalam utang piutang maupun jual beli.
Sehingga, dalam konteks utang piutang Bungan yang merupakan riba dalam utang
piutang mutlak harus dihapuskan dari perekonomian. Secara luas penghapusan riba
dapat diartikan sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang
menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan. Apabila kezaliman harus dihilangkan,
maka implementasi keadilan harus ditegakkan. Keduanya merupakan bentuk
kausalitas yang tegas dan jelas.
2) Pelarangan Gharar
Segala bentuk aktivitas ekonomi yang mengandung gharar
telah dilarang oleh ajaran Islam. Gharar merupakan risiko atau
ketidakpastian. Gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak
(dapat) mengetahui kemungkinan kejadian sesuatu sehingga bersifat spekulasi
atau game of change. Ketidakpastian terjadi karena adanya kekurangan
informasi oleh para pihak. Pelarangan gharar akan membawa implikasi
dihapuskannya berbagai bentuk kegiatasn yang mendorong spekulasi dan perjudian
dalam berbagai aktivitas ekonomi. Gharar akan menciptakan instabilitas
dan kerapuhan dalam perekonomian, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.
3) Pelarangan yang Haram
Dalam ekonomi Islam segala bentuk kegiatan
ekonomi yang dilakukan harus dengan halalan thayyiban. Dalam hal
proses, Islam mengharamkan setiap bentuk transaksi karena tiga hal. Pertama,
perbuatan atau transaksi yang mengandung unsur atau potensi ketidakadilan
(menzalimi atau dizalimi), seperti perjudian, pencurian, perampasan, riba dan gharar.
Kedua, transaksi yang melanggar prinsip saling ridha, seperti tadlis,
yaitu penyembunyian informasi yang relevan kepada pihak lawan transaksi. Ketiga,
perbuatan yang merusak harkat manusia atau alam semesta, seperti prostitusi,
minum yang memabukkan, dan sebagainya.
4) Pelembagaan Zakat
Zakat ialah sedekah (levy) yang
diwajibkan atas harta seorang Muslim yang telah memenuhi syarat, bahkan zakat
juga merupakan rukun Islam. zakat merupakan sebuah system yang berfungsi untuk
menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Zakat
juga merupakan sebuah system yang menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di
antara kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahiq).
Pada awal Islam, zakat dikelola oleh sebuah
komite tetap dari pemerintahan dan menjadi bagian integral dari keuangan
Negara. Oleh sebab itu, kebijakan pengumpulan zakat maupun penyalurannya
senangtiasa terkait dengan kebijakan pembangunan Negara secara keseluruhan.
Zakat tidak hanya diperlakukan sebagai pos ritual belaka, akan tetapi zakat
memiliki keterkaitan erat dengan kondisi riil masyarakat dalam satu Negara.
Dengan pelembagaan zakat, maka efektivitaas maupun optimalisasi pengelolaan
zakat akan lebih terjamin.
Penerapan pengelolaan zakat tidak hanya
terbatas pada suatu komunitas muslim kecil, namun mencakup pada satu Negara.
Pelembagaan zakat ini harus dipahami sebagai upaya untuk profesionalisasi
pengelolaan zakat sebagai sebuah system distribusi kekayaan dan pendapatan yang
nyata. Pelembagaan zakat juga bermakna perlunya komitmen yang kuat dan langkah
yang konkret dari Negara dan masyarakat untuk menciptakan suatu system
distribusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan permanen. Langkah
tersebut merupakan bentuk upaya menciptakan keadilan sosial. Zakat mecerminkan
komitmen sosial dari ekonomi Islam.
3. Analisis Zakat dalam Perspektif Ekonomi Islam
Menurut Ismail, bahwa potensi zakat di Indonesia secara makro dengan
melakukan perhitungan matematis sederhana bisa sangat besar. Menghitung mulai
dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 210 jiwa, dan kurang
lebih 85 % memeluk agama islam yaitu sekitar 178,5 juta jiwa. Jika diasumsikan
hanya seperempat (25 %) dari penduduk muslim tersebut dikategorikan sudah
memiliki nisab dalam membayar zakat pendapatan atau sekitar 44,6 juta jiwa. Dan
apabila mereka diasumsikan memiliki penghasilan sebesar 1,5 juta rupiah per
bulan. Dengan demikian potensi zakat yang terkandung senilai:[27]
Rp. 1.500.000 x 44.600.00 x 2,5 % = Rp. 1,6 Triliun
Ini merupakan hasil per bulan, yang dalam setahun menjadi:
Rp. 1,6 Trilyun x 12 bula = Rp. 20,1 Triliun
Angka tersebut merupakan angka yang cukup signifikan untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi.
Kemudian berdasarkan hasil research
mutakhir yang dilakukan oleh Islamic Development Bank (IDB) dan Institut
Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp.
217,3 Triliun. Akan tetapi, menurut Prof. Dr. Didin Hafidhuddin,[28] bahwa kami perlu kerja keras lagi, karena dari potensi yang Rp. 217,3
Triliun itu, aktualisasinya masih sangat jauh. Karena baru Rp. 2,3 Triliun yang
tercatat di BAZNAS. Dana yang tercatat tersebut baru mencapai 1% dari total
potensi yang ada. Dan menurut Didin Hafidhuddin pada prinsipnya BAZNAS tidak
menuntut semua dana zakat ditarik ke pusat. Namun prinsipnya zakat yang
terkumpul dan penyalurannya ke warga di daerah masing-masing dilaporkan ke
BAZNAS. Sehingga zakat dikelola secara professional, tepat sasaran dan dapat
menjadi solusi permasalahan umat.[29]
Urgensi zakat dalam kesejahteraan masyarakat antara lain sebagai
berikut:[30]
a) Pelembagaan Zakat
Pelembagaan zakat merupakan bentuk upaya
perhatian pemerintah terhadap zakat. Misalnya pendirian Badan Amil Zakat
Nasional. Selain itu masih ada beberapa lembaga zakat swasta yang lain. Penulis
lebih menyukai adanya sentralisasi lembaga yang mengurus zakat, sebab dengan
sentralisasi lembaga zakat, potensi zakat di Indonesia dapat terkumpul dalam
satu wadah yaitu Badan Amil Zakat Nasional. Selain itu didukung dengan
kesadaran masyarakat untuk membayar zakat ke BAZNAS dan pemerintah sebagai
pemegang wewenang pemerintahan. Sehingga pengumpulan, pengelolaan dan
distribusi zakat akan maksimal.
b) Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan zakat yang berjalan dalam
masyarakat berdasarkan kesadaran tanpa aturan yang memaksa. Akan berbeda
hasilnya jika pemerintah, yang mempunyai wewenang, mengeluarkan aturan
perundang-undangan yang sedikit lebih memaksa kepada masyarakat untuk memenuhi
kewajiban untuk memenuhi kewajiban zakatnya. Akibatnya potensi yang seharusnya
menjadi solusi alternative untuk menunjang kesejahteraan masyarakat di
Indonesia tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.
Oleh sebab itu, perlu adanya kebijakan
ekonomi dari pemerintah untuk membuat aturan tersebut. Jika melihat sejarah
kepemerintahan Umar ibn Khattab, zakat diwajibkan kepada masyarakat yang telah
memenuhi syarat wajib zakat, dan memberi hukuman kepada mereka yang tidak mau
membayar zakat. Pemerintahan era Umar ibn Khattab sangatlah tegas dan jelas
mengatur tentang zakat.[31]
c) Sumber Devisa Negara
Secara makro, bahwa zakat dapat dijadikan sebagai
sumber devisa Negara. Dalam sejarah Islam, sumber devisa Negara dalam
pemerintahan Umar ibn Khattab selain pajak adalah zakat. Zakat mendapat perhatian
lebih dalam pemerintahan tersebut. Sedangkan zakat di Indonesia, menurut
penulis perhatian pemerintah masih patut disayangkan, sebab perhatian
pemerintah belum optimal. Seperti belum ada aturan yang memaksa bagi umat
muslim untuk menunaikan zakat bagi yang mampu. Sehingga zakat belum dapat
menjadi sumber devisa Negara, dan belum dapat dimanfaatkan sebagai anggaran
belanja Negara.
d) Ketiadaan Jaminan dalam Bertransaksi
Zakat dikonsepsi oleh syariat Islam untuk
membantu orang-orang yang kekurangan dalam kehidupan ekonominya sehingga tidak
memerlukan jaminan dalam bertransaksi. Ketiadaan jaminan itu berarti membuka
peluang bagi masyarakat miskin untuk berusaha mengubah kehidupannya menjadi
sejahtera, sehingga pada masa mendatang mereka menjadi muzakki dan tidak
lagi menjadi mustahiq.
e) Sarana penerapan produk ekonomi Islam secara murni
Zakat dapat menjadi sarana untuk menerapkan
produk ekonomi Islam secara murni. Karena produk ekonomi Islam belum secara
murni diterapkan oleh perbankan syariah. Mengingat bahwa keberadaan bank
syariah di Indonesia masih relative muda dalam dunia perbankan.
f) Penyaluran Modal
Penyaluran modal dari dana zakat yang
terkumpul dapat diberikan kepada perorangan maupun kelompok, penyaluran modal
bisa dalam bentuk untuk modal kerja atau investasi. Dalam hal ini, lembaga
zakat dapat mengajukan syarat, bisakah usaha tersebut dapat merekrut tenaga
kerja yang lain. Bila sudah berkembang kelak, usaha ini harus tetap mampu
memberi kontribusi untuk tetangga-tetangga lain yang juga miskin. Dengan cara
ini, lembaga zakat tengah mendorong agar kegiatan ekonomi bisa multiplier
effect.
g) Pembentukan lembaga keuangan
Dalam penyaluran bantuan untuk pengusaha
super mikro lembaga zakat dapat mengembangkan lembaga keuangan mikro syariah
(LKMS). Sebagai mediator, LKMS mempunyai kedudukan yang strategis. Melalui
LKMS, lembaga zakat tidak perlu terjun mengurus langsung pengusaha. Dengan
LKMS, lembaga zakat malah dapat mengontrol pemberdayaan lebih seksama. Ada
target yang bisa diprediksi, ada laporan yang bisa distandarisasi, serta ada
data yang bisa dijadikan pola untuk program pemberdayaan. Dengan sinergisitas
antara lembaga zakat dan LKMS, maka LKMS akan menjadi gerakan pemberdayaan yang
memiliki sifat dan karakteristik khusus. Melalui sejumlah LKMS, lembaga zaat
sungguh-sungguh dapat berperan menjadi agent of development.
h) Pembangunan Industri
Penyaluran dana untuk modal usaha dan
investasi seperti took swalayan, Baitul Maal Wa Tamwil dan sebagainya
merupakan industry dan kegiatan pemberdayaan ekonomi yang dikembangkan oleh
lembaga zakat. Hal tersebut merupakan langkah konkret pemberdayaan yang
ditujukann untuk para mustahiq. Sehingga, ada beberapa tujuan dari
pengembangan ekonomi, yaitu:
1) Penciptaan lapangan kerja
Dengan modal yang diberikan, diharapkan sector usaha
yang dibantu tetap dapat mempertahankan tenaga kerja yang sudah ada dan mampu
menambah tenaga kerja yang baru yang berasal dari kalangan mustahiq.
2) Peningkatan usaha
Modal yang diberikan setidakya dapat menyelamatkan
usaha yang telah berjalan. Dengan modal tersebut usaha dapat dikembangkan
dengan baik. Dengan peningkatan usaha, aktifitas ekonomi di masyarakat pun
bergerak. Ekonomi masyarakat bergerak mengidikasikan adanya geliat tumbuhnya
kegiatan-kegiatan ekonomi yang baru.
3) Pelatihan
Tanpa disadari bahwa pemgembangan usaha ternyata memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk berlatih. Seiring dengan berjalannya waktu,
tiba-tiba saja ada daerah yang telah menjadi sentra industry. Tenaga kerja pun
terbina, menjadi ciri khas dari daerah tersebut, dengan ketrampilan yang
dimiliki warganya, itu menjadi bekal kemanapun mereka pergi.
4) Pembentukan Organisasi
Yang penting bagi lembaga zakat, membuat organisasi di
antara mustahiq yang menerima bantuan modal. Pembentukan organisasi amat
penting. Tujuan pembentukan organisasi untuk kepentingan mustahiq sendiri.
Dengan organisasi mereka dapat memperkuat posisi, mengatasi persoalan keuangan,
menyatakan pendapat dan kesulitan, serta menyelesaikan persoalan yang tumbuh di
kalangan anggota. Sehingga kehidupan ekonomi mereka akan sejahtera, dan selanjuatnya
akan menjadi muzakki.
C. KESIMPULAN
Dari paparan di atas bahwa zakat dalam perpektif
ekonomi Islam mempunyai potensi yang signifikan, maka sesungguhnya zakat perlu
mendapatkan perhatian yang lebih sebagaimana urgensi zakat dalam kesejahteraan
masyarakat. Akhirnya zakat dapat menjadi solusi alternative untuk kesejahteraan
masyarakat dan menjadi sumber devisa Negara. Sehingga zakat bukan hanya
memiliki nilai keagamaan saja, akan tetapi zakat juga memiliki nilai ekonomi
yang cukup besar.
D. DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
Fakhruddin, Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia,
Malang: UIN Malang Press, cet. I, 2008
Ismail, Zakat Produktif: Sistem Alternatif dalam Pengentasan
Kemiskinan, Jakarta: Tesis – Pascasarjana UIN Syarif Hidaatullah, 2005
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer,
Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke Tujuh, Maret 2007
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi
Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: studi komparatif mengenai status dan
filsafat zakat berdasarkan Qur’an dan hadith, terj. Harun, Salman, dkk.,
Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993
Ridlo, Ali, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab, Kendari: Jurnal
Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Ridlo, Ali, Analisis Efisiensi Keuangan Badan Amil Zakat Nasional,
Yogyakarta: Tesis – Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 2014
Shiddieqy,
T.M. Hasbi Ash, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
[1] Ismail, Zakat Produktif: Sistem Alternatif dalam
Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta: Tesis – Pascasarjana UIN Syarif
Hidaatullah, 2005) hlm., 149-150
[2] Ridlo, Ali, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab,
(Kendari: Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2, Juli 2013) hlm., 5
[3] Ridlo, Ali, Analisis Efisiensi Keuangan Badan Amil
Zakat Nasional, (Yogyakarta: Tesis – Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga 2014) hlm., 15.
[4] Ridlo, Ali, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab,
(Kendari: Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2, Juli 2013) hlm. 5
[8] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: studi komparatif
mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan Qur’an dan hadith, terj.
Harun, Salman, dkk., (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993) hlm. 36
[19] Lihat Muhammad
Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an, pada kata
“zakat”. Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: studi
komparatif mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan Qur’an dan hadith, terj.
Harun, Salman, dkk., (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993) hlm. 39
[20] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: studi komparatif
mengenai status dan filsafat zakat berdasarkan Qur’an dan hadith, terj.
Harun, Salman, dkk., (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993) hlm.39-40
[21] Fakhruddin, Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia,
(Malang: UIN Malang Press, cet. I, 2008) hlm. 30-32
[23] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi
Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008) hlm., 17
[24] Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian
Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke Tujuh, Maret 2007) hlm., 11-12
[25] Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian
Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke Tujuh, Maret 2007) hlm. 12-13
[26] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi
Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008) hlm. 55-73
[27] Ismail, Zakat Produktif: Sistem Alternatif dalam
Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta: Tesis – Pascasarjana UIN Syarif
Hidaatullah, 2005) hlm. 132
[28] Ia adalah Ketua Umum BAZNAS, dalam acara
buka puasa bersama dengan MENEG BUMN Dahlan Iskan di Graha Mandiri Jalan Imam
Bonjol Jakarta
[29] Ridlo, Ali, Analisis Efisiensi Keuangan Badan Amil
Zakat Nasional, (Yogyakarta: Tesis – Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga 2014) hlm. 3
[30] Ismail, Zakat Produktif: Sistem Alternatif dalam
Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta: Tesis – Pascasarjana UIN Syarif
Hidaatullah, 2005) hlm. 133-
[31] Ridlo, Ali, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khattab,
(Kendari: Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2, Juli 2013) hlm. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar